Senin, 30 November 2009

Cara Kerja Jantung

Sistm sirkulasi memiliki 3 komponen:

1. Jantung yang berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah agar timbul gradien dan darah dapat mengalir ke seluruh tubuh
2. Pembuluh darah yang berfungsi sebagai saluran untuk mendistribusikan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikannya kembali ke jantung
3. Darah yang berfungsi sebagai medium transportasi dimana darah akan membawa oksigen dan nutrisi

Darah berjalan melalui sistim sirkulasi ke dan dari jantung melalui 2 lengkung vaskuler (pembuluh darah) yang terpisah. Sirkulasi paru terdiri atas lengkung tertutup pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan paru. Sirkulasi sistemik terdiri atas pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan sistim organ.

Walaupun secara anatomis jantung adalah satu organ, sisi kanan dan kiri jantung berfungsi sebagai dua pompa yang terpisah. Jantung terbagi atas separuh kanan dan kiri serta memiliki empat ruang, bilik bagian atas dan bawah di kedua belahannya. Bilik bagian atas disebut dengan atrium yang menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya ke bilik bawah, yaitu ventrikel yang berfungsi memompa darah dari jantung.

Pembuluh yang mengembalikan darah dari jaringan ke atrium disebut dengan vena, dan pembuluh yang mengangkut darah menjauhi ventrikel dan menuju ke jaringan disebut dengan arteri. Kedua belahan jantung dipisahkan oleh septum atau sekat, yaitu suatu partisi otot kontinu yang mencegah percampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat penting karena separuh jantung janan menerima dan memompa darah beroksigen rendah sedangkan sisi jantung sebelah kiri memompa darah beroksigen tinggi.

Perjalanan Darah dalam Sistim Sirkulasi
Jantung berfungsi sebagai pompa ganda. Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik (dari seluruh tubuh) masuk ke atrium kanan melalui vena besar yang dikenal sebagai vena kava. Darah yang masuk ke atrium kanan berasal dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya dan ditambahi dengan CO2. Darah yang miskin akan oksigen tersebut mengalir dari atrium kanan melalui katup ke ventrikel kanan, yang memompanya keluar melalui arteri pulmonalis ke paru. Dengan demikian, sisi kanan jantung memompa darah yang miskin oksigen ke sirkulasi paru. Di dalam paru, darah akan kehilangan CO2-nya dan menyerap O2 segar sebelum dikembalikan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis.

Darah kaya oksigen yang kembali ke atrium kiri ini kemudian mengalir ke dalam ventrikel kiri, bilik pompa yang memompa atau mendorong darah ke semus sistim tubuh kecuali paru. Jadi, sisi kiri jantung memompa darah yang kaya akan O2 ke dalam sirkulasi sistemik. Arteri besar yang membawa darah menjauhi ventrikel kiri adalah aorta. Aorta bercabang menjadi arteri besar dan mendarahi berbagai jaringan tubuh.

Sirkulasi sistemik memompa darah ke berbagai organ, yaitu ginjal, otot, otak, dan semuanya. Jadi darah yang keluar dari ventrikel kiri tersebar sehingga masing-masing bagian tubuh menerima darah segar. Darah arteri yang sama tidak mengalir dari jaringan ke jaringan. Jaringan akan mengambil O2 dari darah dan menggunakannya untuk menghasilkan energi. Dalam prosesnya, sel-sel jaringan akan membentuk CO2 sebagai produk buangan atau produk sisa yang ditambahkan ke dalam darah. Darah yang sekarang kekurangan O2 dan mengandung CO2 berlebih akan kembali ke sisi kanan jantung. Selesailah satu siklus dan terus menerus berulang siklus yang sama setiap saat.

Kedua sisi jantung akan memompa darah dalam jumlah yang sama. Volume darah yang beroksigen rendah yang dipompa ke paru oleh sisi jantung kanan memiliki volume yang sama dengan darah beroksigen tinggi yang dipompa ke jaringan oleh sisi kiri jantung.

Sirkulasi paru adalah sistim yang memiliki tekanan dan resistensi rendah, sedangkan sirkulasi sistemik adalah sistim yang memiliki tekanan dan resistensi yang tinggi. Oleh karena itu, walaupun sisi kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah yang sama, sisi kiri melakukan kerja yang lebih besar karena ia memompa volume darah yang sama ke dalam sistim dengan resistensi tinggi. Dengan demikian otot jantung di sisi kiri jauh lebih tebal daripada otot di sisi kanan sehingga sisi kiri adalah pompa yang lebih kuat.

Darah mengalir melalui jantung dalam satu arah tetap yaitu dari vena ke atrium ke ventrikel ke arteri. Adanya empat katup jantung satu arah memastikan darah mengalir satu arah. Katup jantung terletak sedemikian rupa sehingga mereke membuka dan menutup secara pasif karena perbedaan gradien tekanan. Gradien tekanan ke arah depan mendorong katup terbuka sedangkan gradien tekanan ke arah belakang mendorong katup menutup.

Dua katup jantung yaitu katup atrioventrikel (AV) terletak di antara atrim dan ventrikel kanan dan kiri. Katup AV kanan disebut dengan katup trikuspid karena memiliki tiga daun katup sedangkan katup AV kiri sering disebut dengan katup bikuspid atau katup mitral karena terdiri atas dua daun katup. Katup-katup ini mengijinkan darah mengalir dari atrium ke ventrikel selama pengisian ventrikel (ketika tekanan atrium lebih rendah dari tekanan ventrikel), namun secara alami mencegah aliran darah kembali dari ventrikel ke atrium ketika pengosongan ventrikel atau ventrikel sedang memompa.

Dua katup jantung lainnya yaitu katup aorta dan katup pulmonalis terletak pada sambungan dimana tempat arteri besar keluar dari ventrikel. Keduanya disebut dengan katup semilunaris karena terdiri dari tiga daun katup yang masing-masing mirip dengan kantung mirip bulan-separuh. Katup ini akan terbuka setiap kali tekanan di ventrikel kanan dan kiri melebihi tekanan di aorta dan arteri pulmonalis selama ventrikel berkontraksi dan mengosongkan isinya. Katup ini akan tertutup apabila ventrikel melemas dan tekanan ventrikel turun di bawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis. Katup yang tertutup mencegah aliran balik dari arteri ke ventrikel.

Walaupun tidak terdapat katup antara atrium dan vena namun hal ini tidak menjadi masalah. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu karena tekanan atrium biasanya tidak jauh lebih besar dari tekanan vena serta tempat vena kava memasuki atrium biasanya tertekan selama atrium berkontraksi.

Proses Mekanis Siklus Jantung
Jantung secara berselang-seling berkontraksi untuk mengosongkan isi jantung dan berelaksasi untuk mengisi darah. Siklus jantung terdiri atas periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi (mekanisme listrik jantung) ke seluruh jantung. Sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi atau tahapan relaksasi otot jantung.

Kontraksi sel otot jantung untuk memompa darah dicetuskan oleh potensial aksi yang menyebar melalui membran-membran sel otot. Jantung berkontraksi atau berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkannya sendiri. Hal ini disebabkan karena jantung memiliki mekanisme aliran listrik yang dicetuskannya sendiri guna berkontraksi atau memompa dan berelaksasi.

Potensial aksi ini dicetuskan oleh nodus-nodus pacemaker yang terdapat di jantung dan dipengaruhi oleh beberapa jenis elektrolit seperti K+, Na+, dan Ca++. Gangguan terhadap kadar elektrolit tersebut di dalam tubuh dapat mengganggu mekanisme aliran listrik jantung.

Arus listrik yang dihasilkan oleh otot jantung menyebar ke jaringan di sekitar jantung dan dihantarkan melalui cairan-cairan tubuh. Sebagian kecil aktivitas listrik ini mencapai permukaan tubuh dan dapat dideteksi menggunakan alat khusus. Rekaman aliran listrik jantung disebut dengan elektrokardiogram atau EKG. EKG adalah rekaman mengenai aktivitas listrik di cairan tubuh yang dirangsang oleh aliran listrik jantung yang mencapai permukaan tubuh. Jadi EKG bukanlah rekaman langsung aktivitas listrik jantung yang sebenarnya.

Berbagai komponen pada rekaman EKG dapat dikorelasikan dengan berbagai proses spesifik di jantung. EKG dapat digunakan untuk mendiagnosis kecepatan denyut jantung yang abnormal, gangguan irama jantung, serta kerusakan otot jantung. Hal ini disebabkan karena aktivitas listrik akan memicu aktivitas mekanis sehingga kelainan pola listrik biasanya akan disertai dengan kelainan mekanis atau otot jantung sendiri.[]

Sabtu, 07 November 2009

PENDIDIKAN SEKARANG DAN MASA DEPAN

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.
Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini.
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
(1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan);
(2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?;
(3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran);
(4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?;
(5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?;
(6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi);
(7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.

Kesejahteraan faktor peningkatan mutu pendidikan

SUDAH menjadi pengetahuan umum bahwa mutu pendidikan di Tanah Air sampai saat ini masih rendah. Cukup banyak bukti yang dapat digunakan untuk mendukung kesimpulan itu. Rata-rata hasil ujian akhir nasional, ujian akhir sekolah atau apa pun namanya untuk semua mata pelajaran berkisar pada rentangan 5 sampai 7 saja.

Berbagai hasil survei yang dilakukan oleh lembaga internasional juga menempatkan prestasi siswa Indonesia pada posisi bawah. Terakhir, hasil survei TIMSS 2003 (Trends in International Mathematics and Sciencies Study) di bawah payung International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) menempatkan Indonesia pada posisi ke-34 untuk bidang matematika dan pada posisi ke-36 untuk bidang sains dari 45 negara yang disurvei (Kompas, 22/12/2004). Bahkan, di Jawa Timur, dalam seleksi penerimaan calon pegawai negeri daerah yang diumumkan beberapa hari lalu dilaporkan banyak formasi yang tidak terisi karena tidak satu calon pun yang mengikuti ujian memenuhi nilai standar (passing grade) yang ditetapkan.

Saat ini, dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma 4. Dari jumlah itu, 1 juta guru mengajar di Sekolah Dasar dan 173 ribu mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta.

Pendidikan adalah aset berharga bagi setiap orang. Bahkan kualitas pendidikan sangat menentukan maju tidak sebuah daerah. Saat ini sektor pendidikan belum menjadi sektor utama perhatian pemerintah. Buktinya, masih banyak sekolah rusak, anak putus sekolah dan buta huruf. Pada tingkat SD hingga SMP, pemerintah telah mencanangkan program sekolah gratis. Terutama yang berada pada daerah pemukiman dan pinggiran kota. Hal ini dimaksudkan agar memberikan peluang bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat mengenyam pendidikan sama dengan masyarakat yang memiliki taraf hidup lebih tinggi. Selain itu adanya penambahan sekolah yang berada di pulau-pulau.

Ditingkat SMA, pemerintah melakukan terobosan melalui Sistem Sekolah Cerdas, melaksanaklan manajemen sekolah dengan basis teknologi informasi, peningkatan mutu saing keluaran siswa melalui ujian akhir yang dilakukan secara ketat dan beberapa upaya lainnya.

Sehubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan kita masih di bawah standar alias belum memenuhi harapan. Di balik semua upaya yang telah dilaksanakan, masih memiliki catatan-catatan yang masih perlu dibenahi. Kita bisa memulai dari proses mengajar di sekolah . Dimana keterlibatan guru sangat besar manfaatnya, termasuk penyediaan fasilitas belajar mengajar. Bicara mengenai kondisi guru, sekarang masih banyak yang belum memenuhi standar nasional yang menyebabkan kualitas murid juga kurang bagus. Belum lagi penyediaan sarana dan prasarana belum memadai seperti yang diharapkan. Misalnya banyak gedung sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian dan harus segera dibenahi karena sangat mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan kita.


Komitmen pemerintah sebenarnya cukup kuat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah telah berupaya namun belum dapat mengangkat totalitas kinerja dan peningkatan pendidikan. Jika melihat secara parsial kondisi pendidikan sempat dibenahi tetap belum signifikan mengangkat kualitas pendidikan.

Menurut Polling dalam Pendidikan Network pada tanggal 1Juni 2007 Mutu Pendidikan Disebut Sebagai Hal Utama Bagi Pendidikan Bagian Yang Mana?

Kurikulum / Silabus 31.56 % (107)

Jumlah Mata Pelajaran 0.88 % (3)

Kualitas Guru 28.02 % (95)

Sarana/Prasarana/Peraga 9.44 % (32)

Teknik Belajar/Mengajar 27.73 % (94)

Menurut Polling di atas berarti Kualitas guru mempengaruhi mutu pendidikan, bagaimana cara kita untuk meningkatkan mutu guru, itu yang menjadi PR bagi pemerintah kalau menginginkan pendidikan di Indonesia lebih maju dan tidak tertinggal dengan Negara lain.

Faktor Kesejahteraan

Faktor yang paling menonjol dan sering dituding sebagai biang keladi kelemahan sistem pendidikan adalah rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Benarkah? Sebenarnya terlalu sulit untuk menjawabnya. Karena dalam konteks pendidikan akan bersinggungan secara langsung dengan mentalitas penyelenggara dalam lembaga pendidikan. Benarkah jika dengan disejahterakannya para guru sudah dapat ditarik garis linear terhadap peningkatan kualitas pendidikan?

Mengukur Kinerja

Salah satu indikator keberhasilan bidang pendidikan adalah kemampuan dalam mengukur kinerja tenaga kependidikan. Benarkah dengan adanya peningkatan kesejahteraan, sebagaimana yang termaktub dalam UU Guru dan Dosen tersebut, para guru dan dosen dapat lebih meningkatkan kinerja. Atau jangan-jangan malah karena sudah terlalu "dimanjakan" maka akan semakin tidak menunjukkan kinerja yang baik. Pernyataan yang terakhir tentulah sangat tidak arif untuk disampaikan kepada para guru dan dosen yang secara kasat mata adalah pioner terdepan yang mengusung aspek moralitas bangsa. Merekalah yang menjadi garansi baik-buruknya moralitas anak bangsa ini ke depan.

Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Sistem Penjaminan Mutu

Dalam kehidupan yang penuh kompetisi seperti ini, tuntutan masyarakat terhadap kualitas semakin tinggi, termasuk tuntutan terhadap kualitas sekolah. Hal tersebut dikarenakan masyarakat masih yakin sekolah mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan masa depan. Dalam konteks inilah beberapa sekolah berupaya menerapkan sistem penjaminan mutu untuk memberikan kualitas layanan pendidikan terbaiknya untuk masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensip tentang pemahaman pengelola sekolah tentang sistem penjaminan mutu, yang meliputi pemahaman pengelola sekolah tentang mutu, sekolah yang bermutu, dan pentingnya sistem penjaminan mutu. Kedua, untuk mengungkapkan proses penetapan standar mutu yang meliputi standar mutu yang diterapkan di masing-masing sekolah, cara pengelola sekolah menetapkan standar mutu dan faktor-faktor yang menjadi dasar penetapan standar mutu. Ketiga, untuk memberikan gambaran strategi sekolah dalam mencapai standar mutu yang telah ditetapkan yang mencakup langkah-langkah sekolah untuk mencapai standar mutu, masalah-masalah yang dihadapi dalam mencapai standar mutu dan cara menyelesaikannya.
Berdasarkan proses pengumpulan dan analisis data, penelitian ini menghasilkan tiga temuan. Pertama, mutu dalam perspektif pengelola sekolah adalah wujud dari kebaikan sesuatu yang tercermin dalam ketercapaian standar atau indikator mutu melalui proses yang baik, sehingga memenuhi harapan pelanggan dan memberikan nilai manfaat bagi pelanggannya. Berdasarkan konsep tersebut sekolah yang bermutu dalam perspektif pengelola adalah sekolah dengan ciri-ciri: memiliki standar mutu dan mampu mencapainya, memiliki program yang baik dan bermanfaat, pendidikan dijalankan dengan proses yang baik, serta mampu meluluskan siswa yang berkualitas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Selanjutnya untuk mewujudkan sekolah yang bermutu perlu adanya sistem penjaminan mutu, sebab dengan adanya sistem penjaminan mutu manajemen sekolah dan proses pendidikan telah dilaksanakan dengan baik, sekolah lebih fokus dan tidak mudah berubah haluan, karena target dan standar mutu telah ditetapkan, dan dukungan orang tua terhadap program-program sekolah semakin kuat.
Kedua, Sekolah Dasar Islam yang bermutu minimal harus memenuhi 12 butir standar mutu, yaitu: 1) sholat dengan kesadaran; 2) berbakti dengan orang tua; 3) tartil baca al Qur'an; 4) hafal Juz 'Amma; 5) nilai lima bidang studi tuntas; 6) disiplin; 7) percaya diri; 8) senang membaca; 9) membaca efektif; 10) komunikasi baik; 11) prilaku sosial yang baik; 12) memiliki budaya bersih. Proses penetapan standar mutu bermula dari konsep sistem penjaminan mutu yang dipelajari pengelola sekolah dengan mengikuti training KPI dan JSIT. Selanjutnya pengelola sekolah menetapkan standar mutu dengan berpijak pada idealisme sekolah (cita-cita pendirian, visi sekolah, dan profil lulusan yang diharapkan). Adapun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan penetapan standar mutu adalah: kebutuhan dan ketrampilan yang harus dikuasai anak usia sekolah dasar, kebutuhan orang tua, keyakinan keagamaan, faktor ekonomi dan faktor sosial.
Ketiga, Langkah-langkah pencapaian standar mutu terdiri dari a) langkah perencanaan (planning) yang meliputi: sosialisasi standar mutu, perumusan program, penetapan SOP, b) langkah pelaksanaan (implementing) yang meliputi penunjukan penangung jawab, pelaksanaan program, dan c) proses kontrol (controlling) yang meliputi kontrol pelaksanaan program dan kontrol ketercapain standar mutu. Beberapa masalah yang menyebabkan sistem penjaminan mutu belum berjalan optimal antara lain: dukungan dari yayasan belum optimal, adanya beberapa guru yang belum sesuai standar, adanya orang tua yang belum dapat bekerja sama dengan baik, dokumentasi dan kontrol mutu yang masih lemah. Untuk mengatasi itu semua sekolah berupaya untuk selalu melakukan peningkatan kemampuan guru malalui training, supervisi, dan MGMP, melakukan sosialisasi intensif terhadap wali murid, serta memperbaiki program-program penjaminan mutu.
Berdasarkan temuan tersebut disarankan kepada pengelola sekolah untuk terus memperkuat sistem penjaminan mutu internalnya, lebih khusus pada aspek dokumentasi dan kontrol mutu, sehingga ketercapaian standar mutu dapat lebih optimal. Untuk Departemen Pendidikan dapat menindak lanjuti dengan merumuskan konsep sistem penjaminan mutu sekolah dasar sehingga mutu sekolah tidak sekedar dipatok dari hasil akhir namun dijaga dan dilihat dari keseluruhan proses pendidikan.

Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru

Abstrak : Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.
Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah
A. Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru.
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
B. Hakekat Kompetensi Guru
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
3. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
C. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Senin, 02 November 2009

D'cost seafood_bekasi squer_31 oktober 2009_13:00













mencari rumusan peningkatan mutu pendidikan


PERSPEKTIF tentang rumusan mutu pendidikan yang akan saya bahas dalam artikel ini sesungguhnya berangkat dari best practice yang saya alami selama 17 tahun masa pengabdian sebagai guru. Memang sangat sulit untuk mengurai dari mana persoalan peningkatan mutu pendidikan itu harus kita mulai. Apalagi jika mutu pendidikan itu dibebankan secara praksis kepada setiap sekolah, pandangan tentang mutu tentulah sangat beragam karena lokasi dan situasi setiap sekolah sangat berbeda. Sekolah tertentu akan berasumsi bahwa persoalan mutu pendidikan harus dimulai dari guru. Sekolah lain beranggapan persoalan mutu harus dimulai dari input, baik siswa maupun gurunya. Selain itu, yang paling seragam dalam jawaban adalah persoalan dana, bujet, dan atau pembiayaan sekolah yang harus dibenahi terlebih dahulu jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.

Persyaratan mutu pendidikan (sekolah)

Berdasarkan pengamalan mengajar dan bacaan yang saya peroleh, untuk mencapai mutu pendidikan yang diharapkan, kita harus memperhatikan beberapa unsur penting pada internal sekolah itu sendiri. Beberapa kajian tentang effective schools atau excellent school, Samomons et all (1995) menyebutkan beberapa persyaratan atau kondisi yang diperlukan untuk suatu sekolah bermutu, yaitu (a) kepemimpinan profesional seorang kepala sekolah terutama menyangkut peran yang dimainkan, gaya kepemimpinan, pemahaman dan kemampuan menerjemahkan visi, nilai dan tujuan sekolah dalam program atau aksi serta responsif terhadap perubahan. Kepemimpinan efektif seorang kepala sekolah, dalam pandangan saya, dicirikan dengan keandalan dalam menata organisasi sekolah, berorientasi diri pada tujuan, memiliki sikap dan prilaku demokratis yang dicerminkan dalam penerapan pendekatan partisipatoris dalam pengambilan keputusan untuk program sekolah.

Selain kepemimpinan, kesamaan pandangan seluruh komponen sekolah terhadap visi dan tujuan bersama sangatlah penting. Sivitas sekolah harus sepakat (komit) terhadap tujuan dan nilai-nilai yang menjadi landasan sekolah sehingga kohesivitas personel, hubungan kolegial dan kerja sama antara unsur-unsur atau fungsi yang ada dalam sekolah terbangun dengan baik. Banyak kasus di sekolah negeri seperti tempat saya mengajar, hal itu sangat sulit untuk diwujudkan, dan kalau pun bisa, hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang. Salah satu penyebab sulitnya membangun kesadaran kebersamaan di sekolah adalah regulasi dan aturan main tentang rotasi dan mutasi guru sangatlah kompleks dan tidak transparan. Pengangkatan kepala sekolah tidak menggunakan merit system, tapi lebih kepada pendekatan kekuasaan dan perkoncoan.

Padahal dalam pemahaman saya, belajar merupakan sebuah penciptaan entitas kolektif (a learning organization). Setiap individu harus selalu siap untuk melakukan perbaikan dan peningkatan diri agar apa yang dilaksanakan dapat berhasil secara maksimal sesuai dengan tujuan bersama. Sekolah sebagai organisasi pembelajar (a learning organization) harus selalu berupaya mewujudkan kerja kelompok yang akan membawa perubahan dalam wawasan dan sikap di kalangan sivitas sekolah. Belajar, dengan demikian, juga merupakan proses pengembangan diri (insight) dan proses asosiasi antara tindakan masa silam dan tindakan yang akan dilaksanakan secara bersama di masa datang (Preskill; Torres, 1999). Oleh karena itu, sistem rotasi dan mutasi guru harus dibangun berdasarkan tingkat kemampuan guru dalam berinteraksi, baik dengan siswa maupun dengan sesama rekan kerja seprofesi.

Lima pendekatan rumusan

Atas dasar persyaratan tersebut, rumusan peningkatan pendidikan di tingkat sekolah haruslah didasarkan pada program pemberdayaan mutu sekolah yang memiliki strategi intervensi yang membumi dan sesuai dengan kemampuan sekolah itu sendiri. Bentuk strategi intervensinya dapat kita identifikasi dari beberapa best practice yang dilakukan pihak sekolah, antara lain adalah menumbuhkan kesadaran bahwa sekolah adalah bentuk pelayanan pemerintah terhadap masyarakat (opening the school to serve the community). Dalam banyak kasus, sekolah bagi para guru kebanyakan adalah tempat bekerja semata. Memang tidak sepenuhnya salah jika pandangan semacam ini muncul. Hanya saja, orientasi pada kerja semata akan membawa sikap apatis guru karena orientasi pelayanan mereka juga tak lebih dan tak kurang sama seperti pegawai negeri lainnya. Datang ke sekolah untuk mengajar, memberi PR, mengisi absen, setelah itu pulang. Fungsi melayani seperti kurang berarti, dan pada akhirnya semua guru tidak terlatih soft skills-nya untuk berbuat lebih jauh daripada sekadar pegawai biasa. Dalam konteks ini, strategi intervensi dari penanggung jawab pendidikan di daerah sangat dinanti, apa dan bagaimana bentuk program pengembangan kapasitas guru selain sertifikasi yang kurang jelas arahnya.

Sekolah, apalagi dengan sumber daya yang terbatas, harus mampu menciptakan model mengajar secara tim dengan guru lainnya dalam sebuah ruang kelas yang kecil dan efektif (team teaching with smaller classes).Jika pemerintah concern terhadap model intervensi ini, maka mau tidak mau tutor dan mentor dari perguruan tinggi harus diminta untuk membantu sekolah dalam membentuk team teaching. Dalam banyak hal, mengajar dengan cara bersama guru lain dalam satu kelas akan meningkatkan daya kritis guru secara cepat karena pada waktu bersamaan antara sesama guru dapat melakukan koreksi langsung terhadap cara penyampaian materi dan metode belajar yang digunakan. Oleh karena itu, baik kepala sekolah maupun pengawas sebaiknya dapat menggunakan cara itu agar dapat lebih objektif dalam menilai kinerja guru. Objektivitas dalam evaluasi guru merupakan modal penting untuk menentukan masa depan karier seorang guru, apalagi jika ini dikaitkan dengan pola rotasi dan mutasi guru di sebuah daerah. Keuntungan lain dari pendekatan itu adalah anak didik akan lebih mampu berinteraksi secara aktif dalam proses belajar-mengajar.

Salah satu yang selama ini terlupakan atau sengaja dilupakan pihak sekolah adalah menyertakan orang tua atau masyarakat dalam proses pembelajaran (authentic and meaningful learning through field experiences and community connections). Kerja sama sekolah dan orang tua merupakan strategi yang baik untuk digunakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (sekolah). Partisipasi masyarakat diyakini sebagai prasyarat untuk mewujudkan good education governance, yakni terselenggaranya pelayanan pendidikan yang baik dan amanah. Partisipasi masyarakat tersebut dapat dirumuskan ke dalam empat hal, yakni memberi nasihat atau masukan (advisory); memberi dukungan dan bantuan kepada sekolah (supporting); menjembatani atau memfasilitasi kerja sama antara sekolah dengan masyarakat (mediating); dan melakukan pengawasan terhadap pelayanan pendidikan yang disediakan sekolah (akuntabilitas sekolah). Dalam kerangka partisipasi itu, institusi masyarakat (media, civil society, komite sekolah) dapat memberikan kontribusi dalam kerangka empat fungsi pokok. Kelembagaan komite sekolah merupakan penjelmaan dari kesadaran kerelawanan masyarakat untuk berkontribusi terhadap penciptaan dan perbaikan masyarakatnya sendiri. Pendekatan keempat itu dimaksudkan untuk mengoptimalkan peran dan fungi wadah partisipasi masyarakat.

Banyak contoh kecil yang bisa dilakukan sekolah, seperti menciptakan parents-day, saat para orang tua dalam suatu hari yang disepakati bersama dapat mengajar anak-anak mereka secara langsung di sekolah. Orang tua/masyarakat harus dipandang sekolah sebagai sumber informasi paling berharga dalam penambahan wawasan para guru dan siswa. Memberi kesempatan secara luas kepada orang tua/masyarakat dalam proses belajar-mengajar akan mempermudah tugas guru dan sekolah dalam melakukan bimbingan dan pengajaran dalam waktu yang bersamaan.

Jika konsekuensi tersebut telah diambil sekolah, pada saatnya sekolah harus berani untuk dievaluasi secara terbuka, baik oleh sejawat guru, siswa, maupun para orang tua. Semacam check-list attitude guru dan siswa dapat dikembangkan secara bersama dalam rangka mencapai kualitas proses belajar-mengajar yang diinginkan. An educator attitude check, dengan demikian, merupakan sebuah keharusan yang perlu dilakukan manajemen sekolah.

Yang terakhir, ada baiknya jika sekolah melengkapi diri dengan standar perpustakaan sekolah yang memadai, bukan hanya untuk siswa, melainkan juga untuk guru. Di lingkungan tempat saya bekerja, masih banyak dijumpai sekolah yang tak memiliki perpustakaan yang layak. Apalagi jika dilihat dari kemampuan guru dalam membaca, sungguh ironi dan menyedihkan. Selain rencahnya minat baca, kemampuan guru untuk menggunakan media belajar seperti komputer pun sangat amat menyedihkan. Mampukah pemerintah melakukan assessment kecil untuk mengukur kemampuan guru dalam mengoperasikan komputer? Padahal, semangat learn 21st century skills semestinya sudah mulai tumbuh di lingkungan guru-guru kita. Bukan hanya sekadar mendengar ungkapan Tukul dalam Bukan Empat Mata, "Kembali ke laptop." Sementara itu, guru-guru kita masih asing dan terbelakang dengan laptop.

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH


Pendahuluan
1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2. Tujuan
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
a. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
b. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
c. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
d. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing - masing.
e. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
f. Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
g. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
h. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan.
Pengertian Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
Pengertian mutu
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Kerangka kerja dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;
Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
• pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
• bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
• pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
• mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
• Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.
• Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
Strategi pelaksanan di tingkat sekolah
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
• Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
• Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
• Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
• Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.
Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan preralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan.
• Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka waktu satu tahun program sekolah, oleh karena itu sekolah harus membuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial, yaitu : (i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah sebagai hasil dari kontribusi berbagai program sekolah dalam periode satu tahun, dan (ii) keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus menyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus melaksanakan total dan segera) bahwa walaupun perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan telah juga disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan dan waktunya.
• Melakukan monitoring dan evaluasi untuk menyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana pencapaiannya. Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah dan kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang. Demikian aktifitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Penutup
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam proses peningkatan mutu pendidikan perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah. Hal ini mendorong lahirnya konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen alternatif ini memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yaitu orang tua/masyarakat, guru, kepala sekolah, siswa dan staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud) di sisi lainnya sebagai partner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.
Daftar Pustaka
Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly, John, 1993, Benchmarking for Competitive Advantage, Pitman Publishing, London, United Kingdom.
Chapman, Judith (ed), 1990, School-Based Decision-Making and Management, The Falmer Press, Hampshire, United Kingdom.
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
...., 1998, Upaya Perintisan Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Karlof, Bengt and Ostblom, Svante, 1994, Benchmarking : A signpost to Excellence in Quality and Productivity, John Wiley and Soons, New York, USA
Pascoe, Susan and Robert, 1998, Education Reform in Australia: 1992-97 (a Case Study), The Education Reform and Management Series, Education-World Bank, Australia.
Roger,Everett M.,1995, Diffusion of Innovations, The Free Press, New New York, USA.
Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, PT. Grasindo, Jakarta.
Suseno, Muchlas, 1998, Percepatan Pembelajaran Menjelang Abad 21 (makalah hasil analisis dari Accelerated Learning for 21st Century oleh Colin Rose and Malcolm J. Nicholl), Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta
TimTeknis Bappenas, 1999, School-Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia, Jakarta.
Victorian's Departement of Education, 1997, Developing School Charter: Quality Assurance in Victorian Schools, Education Victoria, Melbourne, Australia.
..., 1998, How Good is Our School: School Performance for School Councillors, Education Victoria, Melbourne, Australia.

image daninurriyadi_library