Senin, 02 November 2009

mencari rumusan peningkatan mutu pendidikan


PERSPEKTIF tentang rumusan mutu pendidikan yang akan saya bahas dalam artikel ini sesungguhnya berangkat dari best practice yang saya alami selama 17 tahun masa pengabdian sebagai guru. Memang sangat sulit untuk mengurai dari mana persoalan peningkatan mutu pendidikan itu harus kita mulai. Apalagi jika mutu pendidikan itu dibebankan secara praksis kepada setiap sekolah, pandangan tentang mutu tentulah sangat beragam karena lokasi dan situasi setiap sekolah sangat berbeda. Sekolah tertentu akan berasumsi bahwa persoalan mutu pendidikan harus dimulai dari guru. Sekolah lain beranggapan persoalan mutu harus dimulai dari input, baik siswa maupun gurunya. Selain itu, yang paling seragam dalam jawaban adalah persoalan dana, bujet, dan atau pembiayaan sekolah yang harus dibenahi terlebih dahulu jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.

Persyaratan mutu pendidikan (sekolah)

Berdasarkan pengamalan mengajar dan bacaan yang saya peroleh, untuk mencapai mutu pendidikan yang diharapkan, kita harus memperhatikan beberapa unsur penting pada internal sekolah itu sendiri. Beberapa kajian tentang effective schools atau excellent school, Samomons et all (1995) menyebutkan beberapa persyaratan atau kondisi yang diperlukan untuk suatu sekolah bermutu, yaitu (a) kepemimpinan profesional seorang kepala sekolah terutama menyangkut peran yang dimainkan, gaya kepemimpinan, pemahaman dan kemampuan menerjemahkan visi, nilai dan tujuan sekolah dalam program atau aksi serta responsif terhadap perubahan. Kepemimpinan efektif seorang kepala sekolah, dalam pandangan saya, dicirikan dengan keandalan dalam menata organisasi sekolah, berorientasi diri pada tujuan, memiliki sikap dan prilaku demokratis yang dicerminkan dalam penerapan pendekatan partisipatoris dalam pengambilan keputusan untuk program sekolah.

Selain kepemimpinan, kesamaan pandangan seluruh komponen sekolah terhadap visi dan tujuan bersama sangatlah penting. Sivitas sekolah harus sepakat (komit) terhadap tujuan dan nilai-nilai yang menjadi landasan sekolah sehingga kohesivitas personel, hubungan kolegial dan kerja sama antara unsur-unsur atau fungsi yang ada dalam sekolah terbangun dengan baik. Banyak kasus di sekolah negeri seperti tempat saya mengajar, hal itu sangat sulit untuk diwujudkan, dan kalau pun bisa, hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang. Salah satu penyebab sulitnya membangun kesadaran kebersamaan di sekolah adalah regulasi dan aturan main tentang rotasi dan mutasi guru sangatlah kompleks dan tidak transparan. Pengangkatan kepala sekolah tidak menggunakan merit system, tapi lebih kepada pendekatan kekuasaan dan perkoncoan.

Padahal dalam pemahaman saya, belajar merupakan sebuah penciptaan entitas kolektif (a learning organization). Setiap individu harus selalu siap untuk melakukan perbaikan dan peningkatan diri agar apa yang dilaksanakan dapat berhasil secara maksimal sesuai dengan tujuan bersama. Sekolah sebagai organisasi pembelajar (a learning organization) harus selalu berupaya mewujudkan kerja kelompok yang akan membawa perubahan dalam wawasan dan sikap di kalangan sivitas sekolah. Belajar, dengan demikian, juga merupakan proses pengembangan diri (insight) dan proses asosiasi antara tindakan masa silam dan tindakan yang akan dilaksanakan secara bersama di masa datang (Preskill; Torres, 1999). Oleh karena itu, sistem rotasi dan mutasi guru harus dibangun berdasarkan tingkat kemampuan guru dalam berinteraksi, baik dengan siswa maupun dengan sesama rekan kerja seprofesi.

Lima pendekatan rumusan

Atas dasar persyaratan tersebut, rumusan peningkatan pendidikan di tingkat sekolah haruslah didasarkan pada program pemberdayaan mutu sekolah yang memiliki strategi intervensi yang membumi dan sesuai dengan kemampuan sekolah itu sendiri. Bentuk strategi intervensinya dapat kita identifikasi dari beberapa best practice yang dilakukan pihak sekolah, antara lain adalah menumbuhkan kesadaran bahwa sekolah adalah bentuk pelayanan pemerintah terhadap masyarakat (opening the school to serve the community). Dalam banyak kasus, sekolah bagi para guru kebanyakan adalah tempat bekerja semata. Memang tidak sepenuhnya salah jika pandangan semacam ini muncul. Hanya saja, orientasi pada kerja semata akan membawa sikap apatis guru karena orientasi pelayanan mereka juga tak lebih dan tak kurang sama seperti pegawai negeri lainnya. Datang ke sekolah untuk mengajar, memberi PR, mengisi absen, setelah itu pulang. Fungsi melayani seperti kurang berarti, dan pada akhirnya semua guru tidak terlatih soft skills-nya untuk berbuat lebih jauh daripada sekadar pegawai biasa. Dalam konteks ini, strategi intervensi dari penanggung jawab pendidikan di daerah sangat dinanti, apa dan bagaimana bentuk program pengembangan kapasitas guru selain sertifikasi yang kurang jelas arahnya.

Sekolah, apalagi dengan sumber daya yang terbatas, harus mampu menciptakan model mengajar secara tim dengan guru lainnya dalam sebuah ruang kelas yang kecil dan efektif (team teaching with smaller classes).Jika pemerintah concern terhadap model intervensi ini, maka mau tidak mau tutor dan mentor dari perguruan tinggi harus diminta untuk membantu sekolah dalam membentuk team teaching. Dalam banyak hal, mengajar dengan cara bersama guru lain dalam satu kelas akan meningkatkan daya kritis guru secara cepat karena pada waktu bersamaan antara sesama guru dapat melakukan koreksi langsung terhadap cara penyampaian materi dan metode belajar yang digunakan. Oleh karena itu, baik kepala sekolah maupun pengawas sebaiknya dapat menggunakan cara itu agar dapat lebih objektif dalam menilai kinerja guru. Objektivitas dalam evaluasi guru merupakan modal penting untuk menentukan masa depan karier seorang guru, apalagi jika ini dikaitkan dengan pola rotasi dan mutasi guru di sebuah daerah. Keuntungan lain dari pendekatan itu adalah anak didik akan lebih mampu berinteraksi secara aktif dalam proses belajar-mengajar.

Salah satu yang selama ini terlupakan atau sengaja dilupakan pihak sekolah adalah menyertakan orang tua atau masyarakat dalam proses pembelajaran (authentic and meaningful learning through field experiences and community connections). Kerja sama sekolah dan orang tua merupakan strategi yang baik untuk digunakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (sekolah). Partisipasi masyarakat diyakini sebagai prasyarat untuk mewujudkan good education governance, yakni terselenggaranya pelayanan pendidikan yang baik dan amanah. Partisipasi masyarakat tersebut dapat dirumuskan ke dalam empat hal, yakni memberi nasihat atau masukan (advisory); memberi dukungan dan bantuan kepada sekolah (supporting); menjembatani atau memfasilitasi kerja sama antara sekolah dengan masyarakat (mediating); dan melakukan pengawasan terhadap pelayanan pendidikan yang disediakan sekolah (akuntabilitas sekolah). Dalam kerangka partisipasi itu, institusi masyarakat (media, civil society, komite sekolah) dapat memberikan kontribusi dalam kerangka empat fungsi pokok. Kelembagaan komite sekolah merupakan penjelmaan dari kesadaran kerelawanan masyarakat untuk berkontribusi terhadap penciptaan dan perbaikan masyarakatnya sendiri. Pendekatan keempat itu dimaksudkan untuk mengoptimalkan peran dan fungi wadah partisipasi masyarakat.

Banyak contoh kecil yang bisa dilakukan sekolah, seperti menciptakan parents-day, saat para orang tua dalam suatu hari yang disepakati bersama dapat mengajar anak-anak mereka secara langsung di sekolah. Orang tua/masyarakat harus dipandang sekolah sebagai sumber informasi paling berharga dalam penambahan wawasan para guru dan siswa. Memberi kesempatan secara luas kepada orang tua/masyarakat dalam proses belajar-mengajar akan mempermudah tugas guru dan sekolah dalam melakukan bimbingan dan pengajaran dalam waktu yang bersamaan.

Jika konsekuensi tersebut telah diambil sekolah, pada saatnya sekolah harus berani untuk dievaluasi secara terbuka, baik oleh sejawat guru, siswa, maupun para orang tua. Semacam check-list attitude guru dan siswa dapat dikembangkan secara bersama dalam rangka mencapai kualitas proses belajar-mengajar yang diinginkan. An educator attitude check, dengan demikian, merupakan sebuah keharusan yang perlu dilakukan manajemen sekolah.

Yang terakhir, ada baiknya jika sekolah melengkapi diri dengan standar perpustakaan sekolah yang memadai, bukan hanya untuk siswa, melainkan juga untuk guru. Di lingkungan tempat saya bekerja, masih banyak dijumpai sekolah yang tak memiliki perpustakaan yang layak. Apalagi jika dilihat dari kemampuan guru dalam membaca, sungguh ironi dan menyedihkan. Selain rencahnya minat baca, kemampuan guru untuk menggunakan media belajar seperti komputer pun sangat amat menyedihkan. Mampukah pemerintah melakukan assessment kecil untuk mengukur kemampuan guru dalam mengoperasikan komputer? Padahal, semangat learn 21st century skills semestinya sudah mulai tumbuh di lingkungan guru-guru kita. Bukan hanya sekadar mendengar ungkapan Tukul dalam Bukan Empat Mata, "Kembali ke laptop." Sementara itu, guru-guru kita masih asing dan terbelakang dengan laptop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar