Jumat, 19 Juni 2009

etika olah raga




NURDIN Halid kembali masuk bui. Kali ini hukuman yang menjeratnya adalah menyalahgunakan uang negara sebesar Rp 169,71 miliar. Penyalahgunaan uang negara merupakan nama halus dari tindak pidana korupsi. Ironisnya, sekalipun Nurdin telah mendapatkan status sebagai narapidana, dia tidak sudi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia). Sebenarnya, citra persepakbolaan Indonesia dan dunia olahraga secara keseluruhan sangat dirugikan dengan pemenjaraan Nurdin tersebut. Etika olahraga kita pun bagaikan mendapatkan gugatan berat.
Mengapa? Hal ini tidak lain karena dunia olahraga, terlebih lagi sepakbola, diidentikkan dengan pembentukan karakter kebangsaan. Bahkan dapat ditegaskan bahwa olahraga dan kebangsaan menjadi dua hal yang integral. Olahraga menjadi mesin yang menggerakkan nasionalisme.
Dalam olahraga yang berlangsung bukan sekadar tontonan yang mampu memuaskan kebutuhan psikologis.
Olahraga juga memastikan keberlangsungan kompetisi. Artinya, olahraga menjadi pembuktian siapa yang berhak menjadi juara. Proses untuk mendapatkan prestasi tertinggi itu diraih dengan cara menjalankan monopolisasi kekuatan untuk mengalahkan semua musuh.
Atlet yang mampu memenangkan kompetisi dipuja habis-habisan. Bahkan selebrasi kemenangannya pun dilakukan di Istana Negara. Sebaliknya, atlet yang mengalami kekalahan akan dikutuk sebagai pecundang dan bahan kritik tajam.
Semua itu dapat terjadi karena olahraga telah diposisikan sebagai sublimasi, yakni ekspresi untuk melampiaskan agresivitas secara terhormat. Ketika peradaban yang dipenuhi peperangan mengalami penurunan, maka pasukan militer telah digantikan kedudukannya oleh para atlet.
Ekspansi dan kejayaan suatu bangsa bukan lagi diukur dari seberapa banyak koloni (wilayah jajahan) berhasil direngkuh, melainkan pada parameter berapa jumlah trofi, medali, dan gelar kemenangan atlet telah diraih. Atlet dalam kancah pertandingan internasional dipandang sebagai tentara yang harus menaklukkan musuh. Atlet pun mendapat predikat sebagai duta bangsa.
Apalagi dalam arena olahraga yang mengandalkan kekerasan (violent sport), seperti tinju dan sepakbola. Kekuatan otot-otot atlet dianggap sebagai manifestasi dari tubuh bangsa. Pertarungan dua atlet dari dua negara yang sedang bertikai disetarakan dengan peperangan antara dua kekuatan militer. Di situlah nasionalisme mudah diletupkan. Naluri membunuh dialihkan menjadi insting untuk mengalahkan. Hal ini berarti olahraga menjadi kanal paling bermartabat untuk melepaskan kebencian dan melampiaskan kemarahan.
Olahraga menjadi pelembagaan dari katarsis, yaitu ekspresi keberingasan sekaligus pembersihan dendam membara, dari bangsa-bangsa yang selalu terlibat dalam persaingan untuk meraih kehormatan. Indonesia jelas bukan pengecualian untuk fenomena semacam itu.
Olahraga dan ideologi
Kaitan antara olahraga dan ideologi jelas tidak mungkin dipisahkan. Gejala ini dinyatakan oleh J Hoberman (sebagaimana dikutip Robert Chappell, 2004) ketika menegaskan bahwa keduanya disatukan dalam terminologi ”sportive nationalism”.
Nasionalisme olahraga adalah ambisi elit-elit politik dari berbagai budaya politik yang ingin melihat atlet-atlet mereka unggul dalam peristiwa- peristiwa olahraga internasional.
Kompetisi olahraga internasional, ungkap Hoberman, menjadi ”sejenis wilayah pengujian bagi sebuah bangsa atau suatu sistem politik”. Tidak terlalu aneh, agaknya, jika dalam sistem politik Indonesia terdapat kementerian khusus yang menangani bidang olahraga.
Tujuannya tentu saja bukan sekadar untuk ”memasyaratkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” sebagaimana pernah ditegaskan rezim Orde Baru, melainkan sebagai keharusan untuk mencetak atlet-atlet kita untuk meraih gengsi tertinggi dalam kontestasi olahraga pada level internasional.
Bahkan, dapat dikatakan kementerian olahraga merupakan lembaga negara yang paling bersemangat dan sangat ekspresif dalam memompakan nasionalisme setelah institusi ketentaraan kita. Kenyataan semacam ini bukan gejala yang janggal. Bukankah dalam arena kompetisi olahraga internasional, kita dengan sangat mudah melakukan identifikasi siapa yang menjadi lawan kita? Apalagi rasa nasionalisme memang gampang tersulut jika ada musuh-musuh yang berasal dari luar negara kita.
Identitas nasional
Nasionalisme, sebagaimana diungkapkan Nenad Miscevic (dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2001), selalu menggambarkan dua fenomena utama. Pertama, sikap anggota- anggota suatu bangsa yang memiliki kepedulian terhadap identitas nasional mereka. Kedua, tindakan-tindakan yang dilakukan anggota-anggota suatu bangsa ketika mereka mendapatkan (atau mempertahankan) penentuan- diri.
Fenomena pertama berkaitan dengan problem kelahiran, etnisitas, dan ikatan-ikatan budaya yang sama. Fenomena kedua berhubungan dengan persoalan-persoalan kenegaraan yang memiliki otoritas atau kedaulatan yang penuh dalam mengatasi masalah-masalah dalam negeri dan internasional.
Kedua fenomena utama nasionalisme itu dapat ditemukan realisasinya dalam dunia olahraga. Kepedulian terhadap identitas kebangsaan mudah dicuatkan melalui olahraga yang dipertandingkan. Bahkan, semua jenis cabang olahraga secara otomatis memang dikompetisikan.
Domain kompetisi olahraga tidak sekadar memiliki muatan bisnis yang berorientasi pada perolehan keuntungan finansial, melainkan lebih mengarah pada pencapaian prestise nasional. Berbagai kawasan internasional pun menjalankan kompetisi olahraga secara rutin. Simaklah pertandingan olahraga dalam arena SEA Games yang diperuntukkan bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Asian Games yang digelar untuk mempertarungkan atlet-atlet dari negaranegara di benua Asia, dan Olimpiade yang diselenggarakan untuk negaranegara sedunia. Apakah arena-arena olahraga itu dihadirkan untuk menjalin hubungan antarbangsa? Tidak! Arena itu adalah ruang-ruang yang disajikan bagi bangsa-bangsa untuk terlibat dalam pertarungan dalam meraih kejayaan dan martabat masing-masing bangsa.
Kemenangan memberikan pembuktian harga diri bangsa secara terhormat di hadapan bangsa-bangsa lain. Kemenangan juga menunjukkan suatu bangsa mampu menentukan nasib dan kedaulatannya sendiri secara terhormat. Sementara itu kekalahan bermakna sebagai rendahnya kemampuan suatu bangsa untuk berhadapan dalam medan peperangan yang penuh gengsi. Itulah mengapa olahraga layak dikatakan sebagai mesin yang menggerakkan nasionalisme.
Namun, semua kaitan yang membanggakan antara nasionalisme dan olahraga itu mengalami penggerogotan secara etis. Sebabnya adalah sepakbola, sebagai salah satu cabang olahraga paling populer dalam memasyarakat, sedang dikomandani oleh figur yang terjerat kasus hukum. Etika olahraga, termasuk di dalamnya adalah sepakbola, yang berkehendak menjunjung tinggi sportivitas, kejujuran, martabat bangsa, dan aneka ragam ajaran moral yang mulia, bagaikan dihempaskan oleh status hukum Sang Ketua Umum yang terlibat kasus korupsi. Masih layakkah kita berbicara sepakbola sebagai kebanggaan nasional jika tokoh yang memimpin cabang olahraga itu adalah koruptor yang menjadi musuh seluruh rakyat Indonesia? hf Triyono Lukmantoro Pengajar Sosiologi Komunikasi FISIP Undip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar